Selasa, 10 Maret 2015

Blabur Banyumas



Blabur Banyumas

Banjir bandang melanda Banyumas pada tanggal 21 – 23 Februari 1861. Prasasti yang ditempelkan di komplek Pondok Pesantren GUPPI Banyumas pada tembok bagian selatan gedung yang persis di pintu masuk kompleks mengunakan bahasa Belanda. Letaknya persis mengambarkan ketinggian air bah yang sampai ke langit-langit gedung tinginya sekitar 3,5 meter.
Saat itu gedung masih dipakai untuk kantor Karesidenan Banyumas. Prasasti yang terbuat dari marmer tersebut menjadi saksi sejarah satu-satunya yang menerangkan bahwa kota Banyumas pernah dilanda banjir besar. Bahkan para sesepuh kala itu sudah mendapat firasat yang digambarkan dengan sasmita, terkenal dengan nama sasmita “Bethik mangan manggar”.
Semula semua orang tidak dapat menafsirkan apa makna dibalik kata-kata itu. Sesudah bencana banjir terjadi, barulah orang mengetahui makna yang tersirat dalam ucapan simbolik itu. “Bethik” adalah nama jenis ikan air tawar yang banyak hidup di sungai Serayu, sedangkan “Manggar” adalah bunga pohon kelapa.
Pohon kelapa yang sudah berumur  kurang lebih 7 tahun kira-kira tinginya sudah mencapai 3-4 meter, biasanya sudah bermanggar. Jadi “Bethik mangan manggar” (Ikan bethik makan manggar) memberi lambang bahwa ikan yang hidup di air sungai dapat mencpai manggar yang berarti puncak pohon kelapa. Itu menyiratkan bahwa akan terjadi banjir yang cukup besar.
Pasca terjadi banjir besar, Kanjeng Raden Adipati Cakranegara I berhasil mengatasi kesulitan rakyat akibat bencana banjir, sehingga mendapat anugerah berupa Bintang “Ridder Ode Eikken Kroon” dari pemerintah Belanda. Sejak saat itu beliau juga mendapat julukan Kanjeng Ridder. Banjir atau Blabur Banyumas yang menjadi rangkaian sejarah Banyumas tidak akan terulang lagi, jika masyarakatnya sadar akan pentingnya penghijauan dan pelestarian alam.


     * Mohon maaf bila terjadi kesalahan penulisan kata,nama dan tempat.Blog ini hanya sekedar memberikan informasi,wawasan dan edukasi tanpa ada niat untuk melecehkan siapapun atau membenarkan keyakinan golongan tertentu.
Terima Kasih..........................................................*

Banyumas



Sejarah Berdirinya Kabupaten Banyumas

 Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum’at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.
Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).
Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja Sultan Hadiwijaya.
Kisah pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri (kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan kesalahan paham dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworejo (sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari pisowanan ke Paiang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tiada yang berani menghadap.
Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi Adipati Wirasaba ke VII.
Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II.
Kemudian sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat bagian diberikan kepada iparnya.
1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.
Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Marapat.
Siapakah Raden Joko Kahiman itu ?
R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur. R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang karena suatu kesalahan maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putri Adipati Banyak Galeh (Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh oleh Kyai Sambarta dengan Nyai Ngaisah yaitu putrid R. Baribin yang bungsu.
Dari sejarah terungkap bahwa R. Joko Kahiman adalah merupakan SATRIA yang sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten Banyumas khususnya karena mencerminkan :
a. Sifat altruistis yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri.
b. Merupakan pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon.
c. Pembangkit jiwa persatuan kesatuan (Majapahit, Galuh Pakuan, Pajajaran) menjadi satu darah dan memberikan kesejahteraan ke kepada semua saudaranya.
Dengan demikian tidak salah apabila MOTO DAN ETOS KERJA UNTUK Kabupaten Banyumas SATRIA.
Candra atau surya sengkala untuk hari jadi Kabupaten Banyumas adalah “BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA” artinya tahun 1582.
Bila diartikan dengan kalimat adalah “KEBAKTIAN DALAM UJUD KERJA SESEORANG PIMPINAN / MANGGALA MENGHASILKAN AKAN TERTATANYA ATAU TERBANGUNNYA SUATU PEMERINTAHAN”.


     * Mohon maaf bila terjadi kesalahan penulisan kata,nama dan tempat.Blog ini hanya sekedar memberikan informasi,wawasan dan edukasi tanpa ada niat untuk melecehkan siapapun atau membenarkan keyakinan golongan tertentu.
Terima Kasih..........................................................*


Kisah Saka Guru Pendopo Si Panji



Kisah Saka Guru Pendopo Si Panji
Saka Guru Pendopo Si Panji
Masyarakat Banyumas sangat mengenal Pendopo Si Panji, Pendopo Kabupaten Banyumas yang sampai saat ini masih kokoh berdiri megah di kota Purwokerto dan menjadi ‘’Pujer” (pusat) Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Hingga saat ini Pendopo Si Panji masih dikeramatkan, khususnya pada salah satu tiang sebelah barat yaitu soko guru (tengah) selalu diberi sesaji agar semua kegiatan yang belangung di Pendopo Si Panji dapat berjalan lancar tanpa ada gangguan. 
Kisah-kisah misteri sering terdengar dari Pendopo Si Panji yang diboyong dari kota Banyumas ke Purwokerto dengan memutar ke Pantura, tidak melewati (nglangkahi) Sungai Serayu. Kabupataen Banyumas didirikan pada tahun 1852 ole Kyai Adipati Wargautama II yang juga disebut sebagai Bupati Banyumas I dan dikenal sebagai Kyai Adipati Mrapat. Dalam perjalanan sejarah, Adipati Yudongoro (Bupati Banyumas VII / 1708 – 1743) memindahkan pusat Kabupaten Banyumas agak ke sebelah timur dengan sekaligus membangun rumah Kabupaten berikut Pendopo yang dikenal dengan Pendopo Si Panji.
Dalam sejarahnya, Pendopo Si Panji sering memunculkan keanehan dan cerita mistis, misalnya pada tanggal 21-23 Februari 1861, kota Banyumas dilanda banjir bandang / Blabur Banyumas,  karena meluapnya Sungai Serayu. Puluhan pengunsi berusaha menyelamatkan diri dengan naik ke atas (atap) Pendopo Si Panji. Setelah air bah surut, ternyata Pendopo Si Panji tidak mengalami kerusakan atau perubahan sedikitpun pada keempat tiangnya (saka guru). Posisi Pendopo juga tidak bergeser sedikitpun padahal bangunan disekitarnya roboh karena diterjang banjir setinggi lebih dari 3,5 meter.
Misteri lain, ketika Pendopo akan dibangun, semua sesepuh dan tokoh masyarakat Banyumas supaya menyumbangkan calon saka guru Pendopo maupun bahan bangunan yang lain. Semua tokoh masyarakat telah memenuhi permintaan sang Adipati, kecuali Ki Ageng Somawangi, sehinga ia dipangil untuk menghadap Adipati Yudonegoro II untuk dimintai keterangannya. Ki Ageng Somawangi menghadap memenuhi panggilan sang Adipati. Untuk menebus kesalahannya, pada saat itu pula ia langsung menyerahkan saka guru Pendopo yang ia ciptakan dari “tatal” dan pontongan-potongan kayun yang berserakan disekitar komplek pembangunan itu. Hal itu tidak disambut baik oleh sang Adipati, bahkan diangap suatu perbuatan yang “pamer kadigdayan”. Akibatnya ia malah dituduh akan “menjongkeng kawibawan” (mengambil alih kekuasaan) Sang Adipati.
Atas tuduhan yang kurang adil itu, Ki Ageng Somawangi marah, segera meningalkan Kadipaten tanpa pamit. Sang Adipati sangat tersingung dan menyuruh prajuritnya untuk menangkap Ki Ageng Somawangi yang dianggap “ngungkak krama” (membangkang) itu. Namun karena kesaktiannya, ia dapat lolos dari upaya penangkapan. Konon tongkat saktinya ditancapkan di suatu tempat dan berubah wujud menyerupai Ki Ageng Somawangi. Sontak para prajurit menganiaya Ki Ageng Tiruan.
Ki Ageng Somawangi melanjutakan pelarian menyimpang dari jalan raya, menerobos melalui jalan setapak menuju padepokannya yang sekarang dikenal dengan Desa Somawangi Kecamatan Mandiraja Kabupaten Banjarnegara. Desa dimana Ki geng Somawangi menerobos untuk menghindari kejaran Prajurit Banyumas, kemudian diberi nama “Panerusan”. Dengan demikian diketahui bahwa ada saaat awal pembangunan Pendopo Si Panji sempat menimbulkan ontran-ontran tokoh Banyumas itu.
Masyarakat Banyumas mempercayai bahwasanya salah satu tiang utama (saka guru) Pendopo Si Panji yang dikeramatkan, berasal dari hutan belantara di hulu Sungai Serayu. Dari cerita yang berkembang, kayu yang telah digunakan sebagai tiang itu ingin kembali lagi ke hutan yang sangat angker itu. Sampai saat ini saka guru yang masih kokoh itu katanya ada penunggunya berupa sosok ular dan seorang kakek berjenggot panjang.
Setelah ada penggabungan Kabupaten Banyumas dengan Kabupaten Purwokerto tahun 1936 atau prakarsa Adipati Arya Sudjiman Gandasubrata (Bupati Banyumas XX), pada Bulan Janauari 1937 Pendopo Si Panji dipindahkan dari Banyumas ke Purwokerto. Berdasarkan suara gaib dan petunjuk dari para sesepuh Banyumas dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka pemindahan Pendopo Si Panji yang keramat itu tidak melewati Sungai Serayu, tetapi melewati pantai utara Jawa (Pantura), Semarang ke barat, Bumiayu, Ajibarang, kemudian sampai ke Purwokerto.
Ada beberapa hal yang menjadikan Pendopo Si Panji dipindah ke Purwokerto. Ada sasmita bahwa kelak kota Purwokerto akan maju pesat dan menjadi kota perdagangan dan pusat pemerintahan. Pemindahan pendopo sebagai simbol pengakuan betapa kota Banyumas sulit bekembang, karena tidak ada jalur kereta api, lahan kota sempit, dan akses ke laur tidak berkembang. Maka saat itu pun kota Banyumas sepi dan sulit berkembang. Hal ini membuktikan apa yang diperkirakan oleh Bupati Sudjiman Gandasubrata itu benar.
Untuk mengenang kebesaran Pendopo Si Panji, Pemda Kabupaten Banyumas telah membangun “dulpilkat” pendopo di bekas berdirinya Pendopo Si Panji. Namun tidak sesuai dengan aslinya bahkan terkesan lebih mewah dari Pendopo Si Panji yang ada di Purwokerto.
Dari rangkaian sejarah, ternyata sejak pembangunannya sudah ada aura mistis dan pertentangan tokoh, pernah menjadi pengungsian puluhan penduduk yang naik ke atas pendopo dan tidak ada kerusakan saat banjir bandang. Perjalanan sejarah selanjutnya pendopo yang keramat ini tidak mau melewati Sungai Serayu dan di arak lewat Semarang (Pantura) hingga ke kota Purwokerto. Suatu hal aneh yang sampai saat ini belum terkuak adalah alasan mengapa pemindahanyya tidak boleh melewati Sungai Serayu, tetapi harus melewati ratusan kilometer memutar Jawa Tengah.


     * Mohon maaf bila terjadi kesalahan penulisan kata,nama dan tempat.Blog ini hanya sekedar memberikan informasi,wawasan dan edukasi tanpa ada niat untuk melecehkan siapapun atau membenarkan keyakinan golongan tertentu.
Terima Kasih..........................................................*


Senin, 09 Maret 2015

Tragedi Sabtu Pahing



Hari Sabtu Pahing "Naas"

Tragedi Sabtu Pahing ternyata menjadi awal berdirinya Kabupaten Banyumas, bahkan dalam perjalanan Sejarah Banyumas sampai saat ini diyakini oleh sebagian warga Banyumas dan sekitarnya bahwa hari itu menjadi hari naas dan menghindari untuk bepergian jauh, mendirikan bangunan rumah, mbarang gawe (sunatan, mantu dan mbesan) juga keperluan besar lainnya seperti penyelenggaraan Pilkades dan sebagainya.
Tragedi yang sangat memilukan ini menimpa Adipati Warga Utama I, sepulangnya dari Kasultanan Pajang. Tragedi ini menjadi cerminan betapa seorang pemimpin harus berhati-hati dalam bertindak dan tidak hanya mendengar laporan sepihak.
Adipati Warga utama I beserta para pengiringnya dalam perjalanan pulang dari Kasultanan Pajang menempuh jalan pintas yang tidak bisa dilewati umum. Itulah makanya sulit sebenarnya para Tumenggung melacak perjalanannya. Lagi pula pada kesempatan yang baik ini, sang Adipati memerlukan singgah ke beberapa Demang dan Lurah dari Kadipaten yang dilewatinya.
Disini Adipati banyak memperoleh pengalaman baru tentang pemerintahan pedesaan yang adapat diterapkan di Kabupatennya. Para Demang dan Lurah yang disinggahinya merasa sangat senang dan bangga. Banyak diantaranya yang menyampaikan tanda penghormatan berupa cindera mata hasil kerajinan setempat.
Sementara itu, perjalanan pulang KI Adipati telah menginjak hari ke tujuh, hari Sabtu Pahing, sampai di desa Bener Distrik Ambal Kabupaten Kebumen. Menjelang shalat dhuhur Ki Adipati beserta para Pengiringnya singgah dan beristirahat di rumah salah seorang sahabatnya yang rumahnya terdiri atas rumah induk dan balai yang tidak searah dengan rumah induk yang biasa disebut dengan “Balai Malang” (Balebapang).
Kedatangan Ki Adipati diterima seisi rumah dengan sangat senang hati. Jamuan makan siang segera dihidangkan, salah satu lauknya yaitu “Pindang Banyak” (Daging angsa yang dimasak dengan buah pucung atau kluwak). Selagi Ki Adipati beserta para pengiringnya menikmati jamuan makan siang, tiba-tiba datanglah Tumengung utusan Kanjeng Sultan (Tumenggung pertama) yang mengemban tugas untuk membunuh Ki Adipati.
Melihat Ki Adipati sedang menikmati hidangan, Tumenggung pertama tidak sampai hati untuk membunuhnya. Kuda Dawukbang (merah campur putih) kesayangan Ki Adipati yang ditambatkan dibawah pohon sawo di sisi rumah meronta-ronta, seolah-olah mengetahui ada firasat buruk yang akan menimpa Ki Adipati.
Firasat buruk juga telah dirasakan juga oleh Ki Adipati, karena ada hal-hal aneh yang menyelimuti sekelilingnya, lebih-lebih ada seorang Tumenggung yang menuju tempat ia beristirahat. Tumenggung pertama sabar menunggu sampai Ki Adipati selesai makan. Sementara itu dari kejauhan tampak olehnya seorang kawan Tumengung (Tumenggung kedua) memacu kudanya dengan cepat menuju ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangannya seraya berseru :”Jangan bunuh……”
Maka demi tugas Kanjeng Sultan, Ki Adipati Warga Utama I yang sedang menikmati hidangan pindang banyak itu ditikam dengan keris Pusaka Keraton Pajang. Semua yang ada di pendopo itu geger dan gugup. Ki Adipati yang naas itu terjatuh dengan darah segar mengalir dari dadanya. Para pengiring dan pengawal tidak bisa berbuat banyak. Jeritan dan isak tangis menggema di Balemalang itu. Mereka sadar bahwa Tumenggung pembunuh itu membawa amanat Kanjeng Sultan. Melawan Tumenggung berarti melawan Sang Prabu junjungannya.
Sementara Ki Adipati Menahan sakit, para pengiring dan seisi rumah berusaha menyelamatkannya, tibalah Tumenggung kedua. Menyaksikan peristiwa berdarah yang memilukan itu hampir saja Tumenggung kedua jatuh pingsan. Ia sangat berdosa karena gagal melaksanakan tugas, walaupun ia tidak bersalah. Bukankah Tumengung kedua telah memberi isyarat dan berteriak supaya Ki Adipati Warga Utama I dibunuh ? Mengapa ia tidak memperhatikan isyarat itu ? Atau mengapa ia menyalah artikan isyarat itu ?
Kedua Tumenggung saling berpelukan menangis, terharu dana sedih. Kepada para pengiring dan segenap keluarga tuan rumah Kedua Tumenggung iru menjelaskan duduk persoalan peristiwa yang menyedihkan itu. Ki Adipati sebenarnya tidak bersalah. Pembunuhan itu menjadi tanggung jawab Kanjeng sultan Hadiwijaya sendiri.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan serak dan tersendat-sendat sempat meninggalkan pesan terakhir kepada keluarga (keturunan) yang ditinggalkan. “Aku…aku…tidak tahu apa dosaku kepada Kanjeng Sultan….anak cucuku jangan sampai mengalami naas seperti aku…ingat-ingat..,jangan sampai ada diantara anak cucuku yang bepergian pada hari Sabtu Pahing, apalagi naik kuda Dawuk Bang. Juga jangan makan pindang banyak (angsa) serta jangan membangun atau bertempat tinggal di rumah “Bale Malang".
Sama sekarang, pesan ini oleh orang-orag yang bersasal dari Banyumas sekalipun bukan trah Ki Adipati Warga Utama I, terutama oleh angkatan tua, pesan ini masih sangat dipatuhi. Kalau tidak merasa terpaksa sekali, mereka tidak akan bepergian pada hari Sabtu Pahing.
Menjelang dini hari tibalah rombongan usungan jenazah di suatu pegunungan yang sebagian besar masih berupa hutan. Mereka beristirahat sambil menyalakan api unggun sekedar untuk mengurangi rasa dingin dan untuk menerangi lingkungan sekitarnya. Menjelang subuh mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan yang penuh duka itu. Sebagai kenang-kenangan , tempat dimana mereka beristirahat ini diberi nama “Lawang Awu” (perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dengan Kebumen).
Lepas Dhuhur rombongan sudah sampai di Wirasaba yang disambut dengan isak tangis para putra, para sentana, dan para kerabat dekat almarhum. Rakyat Wirasaba menyambut dengan duka nestapa. Untuk beberapa jam jenazah disemayamkan di Pendopo Agung Kabupaten untuk memberi kesempatan para kerabat dan rakyatnya menyampaikan menyampaikan ucapan bela sungkawa kepada keluarga dan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Berdasarkan keputusan musyawarah keluarga serta para pejabat Kabupaten, almarhumah dimakamkan di Dukuh Pekiringan, Desa Klampok Kabupaten Banjarnegara, disebelah selatan sungai Serayu. Di tembok (sebelah timur) makam Ki Adipati, tertulis riwayat singkat wafatnya Ki Adipati dalam bahasa jawa sebagai berikut :”Ki Adipati Wargohutomo I Ing Wirasabane kaleres dinten Setu Pahing dipun sedani utusanipun Sultan Pajang (1548 – 1586), pinuju lenggah wonten Bale Malang ing Dusun Bener, Distrik Ambal (Kebumen) jalaran kadakwa kalepatan. Pandakwa wau saking seling serap.Ki Adpati kagantos putra mantu Joko Kaiman ngagem asma Wargohutomo II ketelah Ki Adipati Mrapat (Sumareh ng Dawuhan)”.
Maknanya dalam bahasa Indonesia :”KI Aipati Wargohutomo I, pada hari Sabtu Pahing dibunuh oleh utusan Stan Pajang (Sulatan Hadiwijaya) yang memerintah antara tahun 1548 -1586, ketika seang berada di Balemalang di desa Bener Kawedanan Ambal Kabupaten Kebumen, karena dituduh telah berbuat salah. Tuduhan itu karena salah paham. Ki Adupati diganti oleh putra menantunya Djoko Kaiman yang juga bernama Wargohutomo II, yang terkenal dengan sebutan Ki Adipati Mrapat (dimakamkan di Dawuhan)".
Makam Adipati Warga Utama I kini telah dipugar oleh Pemda Kabupaten Banjarnegara dan para pencintanya, disekitarnya telah dajadikan pekuburan umum yang dikeramatkan banyak orang. Pada setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon banyak pengunjung yang bersemedi (nyepi) di dalam makam dengan berbagai ragam permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Makam Adipati Warga Utama I di tatah Wirsaba, tetapi secara administratif Klampok, Kabupaten Banjarnegara, tapatnya di desa Pekiringan. Makam yang dikeramatkan ini juga banyak dikunjungi oleh pezairah yang ingin mendapakan berkan dan tujuan lain pada hari tertentu. Keramaian makam ini dapat dilihat dari mengunungnya kemenyan yang tekah dibakar.
***


Seandainya Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya mau melakukan konfirmasi lebih dulu atas penuturan Demang Banyureka perihal status Rara Sukartiyah, putri Adipati Wirasaba yang dikatakan sudah bersuami dan tidak “suci” lagi, tentunya tidak akan terjadi peristiwa tragis seperti itu. Penuturan sepihak itulah yang akhirnya membawa petaka bagi Adipati Wirasaba. Sampai saat ini kejadian tersebut dikenal dengan “Tragedi Sabtu Pahing”. Bagi Orang Banyumas, peristiwa tragis tersebut sangat di perhatikan agar jangan sampai menimpa anak cucu dan generasi mendatang. Sebagian masyarakat juga bertindak arif untuk tidak terlalu terpaku dengan hari Sabtu Pahing sebagai hari naas, sejalan dengan penghayatan agama dan pandangan bahwa “semua hari itu baik”


     * Mohon maaf bila terjadi kesalahan penulisan kata,nama dan tempat.Blog ini hanya sekedar memberikan informasi,wawasan dan edukasi tanpa ada niat untuk melecehkan siapapun atau membenarkan keyakinan golongan tertentu.
Terima Kasih..........................................................*