Hari Sabtu Pahing "Naas"
Tragedi Sabtu Pahing ternyata
menjadi awal berdirinya Kabupaten Banyumas, bahkan dalam perjalanan Sejarah
Banyumas sampai saat ini diyakini oleh sebagian warga Banyumas dan
sekitarnya bahwa hari itu menjadi hari naas dan menghindari untuk bepergian
jauh, mendirikan bangunan rumah, mbarang gawe (sunatan, mantu dan mbesan) juga
keperluan besar lainnya seperti penyelenggaraan Pilkades dan sebagainya.
Tragedi yang sangat memilukan ini menimpa Adipati
Warga Utama I, sepulangnya dari Kasultanan Pajang. Tragedi ini menjadi
cerminan betapa seorang pemimpin harus berhati-hati dalam bertindak dan tidak
hanya mendengar laporan sepihak.
Adipati Warga utama I beserta para
pengiringnya dalam perjalanan pulang dari Kasultanan Pajang menempuh jalan
pintas yang tidak bisa dilewati umum. Itulah makanya sulit sebenarnya para
Tumenggung melacak perjalanannya. Lagi pula pada kesempatan yang baik ini, sang
Adipati memerlukan singgah ke beberapa Demang dan Lurah dari Kadipaten yang
dilewatinya.
Disini Adipati banyak memperoleh pengalaman baru
tentang pemerintahan pedesaan yang adapat diterapkan di Kabupatennya. Para
Demang dan Lurah yang disinggahinya merasa sangat senang dan bangga. Banyak
diantaranya yang menyampaikan tanda penghormatan berupa cindera mata hasil
kerajinan setempat.
Sementara itu, perjalanan pulang KI Adipati telah
menginjak hari ke tujuh, hari Sabtu Pahing, sampai di desa Bener Distrik Ambal
Kabupaten Kebumen. Menjelang shalat dhuhur Ki Adipati beserta para Pengiringnya
singgah dan beristirahat di rumah salah seorang sahabatnya yang rumahnya
terdiri atas rumah induk dan balai yang tidak searah dengan rumah induk yang
biasa disebut dengan “Balai Malang” (Balebapang).
Kedatangan Ki Adipati diterima seisi rumah dengan
sangat senang hati. Jamuan makan siang segera dihidangkan, salah satu lauknya
yaitu “Pindang Banyak” (Daging angsa yang dimasak dengan buah pucung
atau kluwak). Selagi Ki Adipati beserta para pengiringnya menikmati jamuan
makan siang, tiba-tiba datanglah Tumengung utusan Kanjeng Sultan (Tumenggung
pertama) yang mengemban tugas untuk membunuh Ki Adipati.
Melihat Ki Adipati sedang menikmati hidangan, Tumenggung
pertama tidak sampai hati untuk membunuhnya. Kuda Dawukbang (merah campur
putih) kesayangan Ki Adipati yang ditambatkan dibawah pohon sawo di sisi rumah
meronta-ronta, seolah-olah mengetahui ada firasat buruk yang akan menimpa Ki
Adipati.
Firasat buruk juga telah dirasakan juga oleh Ki
Adipati, karena ada hal-hal aneh yang menyelimuti sekelilingnya, lebih-lebih
ada seorang Tumenggung yang menuju tempat ia beristirahat. Tumenggung pertama
sabar menunggu sampai Ki Adipati selesai makan. Sementara itu dari kejauhan
tampak olehnya seorang kawan Tumengung (Tumenggung kedua) memacu kudanya dengan
cepat menuju ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangannya seraya berseru
:”Jangan bunuh……”
Maka demi tugas Kanjeng Sultan, Ki Adipati
Warga Utama I yang sedang menikmati hidangan pindang banyak itu ditikam
dengan keris Pusaka Keraton Pajang. Semua yang ada di pendopo itu geger dan
gugup. Ki Adipati yang naas itu terjatuh dengan darah segar mengalir dari
dadanya. Para pengiring dan pengawal tidak bisa berbuat banyak. Jeritan dan
isak tangis menggema di Balemalang itu. Mereka sadar bahwa Tumenggung pembunuh
itu membawa amanat Kanjeng Sultan. Melawan Tumenggung berarti melawan Sang
Prabu junjungannya.
Sementara Ki Adipati Menahan sakit, para
pengiring dan seisi rumah berusaha menyelamatkannya, tibalah Tumenggung kedua.
Menyaksikan peristiwa berdarah yang memilukan itu hampir saja Tumenggung kedua
jatuh pingsan. Ia sangat berdosa karena gagal melaksanakan tugas, walaupun ia
tidak bersalah. Bukankah Tumengung kedua telah memberi isyarat dan berteriak
supaya Ki Adipati Warga Utama I dibunuh ? Mengapa ia tidak memperhatikan
isyarat itu ? Atau mengapa ia menyalah artikan isyarat itu ?
Kedua Tumenggung saling berpelukan menangis,
terharu dana sedih. Kepada para pengiring dan segenap keluarga tuan rumah Kedua
Tumenggung iru menjelaskan duduk persoalan peristiwa yang menyedihkan itu. Ki
Adipati sebenarnya tidak bersalah. Pembunuhan itu menjadi tanggung jawab
Kanjeng sultan Hadiwijaya sendiri.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan
serak dan tersendat-sendat sempat meninggalkan pesan terakhir kepada keluarga
(keturunan) yang ditinggalkan. “Aku…aku…tidak tahu apa dosaku kepada Kanjeng
Sultan….anak cucuku jangan sampai mengalami naas seperti
aku…ingat-ingat..,jangan sampai ada diantara anak cucuku yang bepergian pada
hari Sabtu Pahing, apalagi naik kuda Dawuk Bang. Juga jangan makan pindang
banyak (angsa) serta jangan membangun atau bertempat tinggal di rumah “Bale
Malang".
Sama sekarang, pesan ini oleh orang-orag yang
bersasal dari Banyumas sekalipun bukan trah Ki Adipati Warga Utama I, terutama
oleh angkatan tua, pesan ini masih sangat dipatuhi. Kalau tidak merasa terpaksa
sekali, mereka tidak akan bepergian pada hari Sabtu Pahing.
Menjelang dini hari tibalah rombongan usungan
jenazah di suatu pegunungan yang sebagian besar masih berupa hutan. Mereka
beristirahat sambil menyalakan api unggun sekedar untuk mengurangi rasa dingin
dan untuk menerangi lingkungan sekitarnya. Menjelang subuh mereka bersiap-siap
melanjutkan perjalanan yang penuh duka itu. Sebagai kenang-kenangan , tempat
dimana mereka beristirahat ini diberi nama “Lawang Awu” (perbatasan
antara Kabupaten Banjarnegara dengan Kebumen).
Lepas Dhuhur rombongan sudah sampai di Wirasaba
yang disambut dengan isak tangis para putra, para sentana, dan para kerabat
dekat almarhum. Rakyat Wirasaba menyambut dengan duka nestapa. Untuk
beberapa jam jenazah disemayamkan di Pendopo Agung Kabupaten untuk memberi
kesempatan para kerabat dan rakyatnya menyampaikan menyampaikan ucapan bela
sungkawa kepada keluarga dan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Berdasarkan keputusan musyawarah keluarga serta
para pejabat Kabupaten, almarhumah dimakamkan di Dukuh Pekiringan, Desa Klampok
Kabupaten Banjarnegara, disebelah selatan sungai Serayu. Di
tembok (sebelah timur) makam Ki Adipati, tertulis riwayat singkat wafatnya Ki
Adipati dalam bahasa jawa sebagai berikut :”Ki Adipati Wargohutomo I
Ing Wirasabane kaleres dinten Setu Pahing dipun sedani utusanipun Sultan Pajang
(1548 – 1586), pinuju lenggah wonten Bale Malang ing Dusun Bener, Distrik Ambal
(Kebumen) jalaran kadakwa kalepatan. Pandakwa wau saking seling serap.Ki Adpati
kagantos putra mantu Joko Kaiman ngagem asma Wargohutomo II ketelah Ki Adipati
Mrapat (Sumareh ng Dawuhan)”.
Maknanya dalam bahasa Indonesia :”KI
Aipati Wargohutomo I, pada hari Sabtu Pahing dibunuh oleh utusan Stan Pajang
(Sulatan Hadiwijaya) yang memerintah antara tahun 1548 -1586, ketika seang
berada di Balemalang di desa Bener Kawedanan Ambal Kabupaten Kebumen, karena
dituduh telah berbuat salah. Tuduhan itu karena salah paham. Ki Adupati diganti
oleh putra menantunya Djoko Kaiman yang juga bernama Wargohutomo II, yang
terkenal dengan sebutan Ki Adipati Mrapat (dimakamkan di Dawuhan)".
Makam Adipati Warga Utama I kini
telah dipugar oleh Pemda Kabupaten Banjarnegara dan para pencintanya,
disekitarnya telah dajadikan pekuburan umum yang dikeramatkan banyak orang.
Pada setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon banyak pengunjung yang bersemedi
(nyepi) di dalam makam dengan berbagai ragam permohonan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Makam Adipati Warga Utama I di tatah Wirsaba,
tetapi secara administratif Klampok, Kabupaten Banjarnegara,
tapatnya di desa Pekiringan. Makam yang dikeramatkan ini juga banyak
dikunjungi oleh pezairah yang ingin mendapakan berkan dan tujuan lain pada hari
tertentu. Keramaian makam ini dapat dilihat dari mengunungnya kemenyan yang
tekah dibakar.
***
Seandainya Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya mau
melakukan konfirmasi lebih dulu atas penuturan Demang Banyureka perihal status
Rara Sukartiyah, putri Adipati Wirasaba yang dikatakan sudah bersuami
dan tidak “suci” lagi, tentunya tidak akan terjadi peristiwa tragis seperti
itu. Penuturan sepihak itulah yang akhirnya membawa petaka bagi Adipati
Wirasaba. Sampai saat ini kejadian tersebut dikenal dengan “Tragedi
Sabtu Pahing”. Bagi Orang Banyumas, peristiwa tragis
tersebut sangat di perhatikan agar jangan sampai menimpa anak cucu dan generasi
mendatang. Sebagian masyarakat juga bertindak arif untuk tidak terlalu terpaku
dengan hari Sabtu Pahing sebagai hari naas, sejalan dengan penghayatan agama
dan pandangan bahwa “semua hari itu baik”
* Mohon maaf bila terjadi kesalahan penulisan kata,nama dan tempat.Blog ini hanya sekedar memberikan informasi,wawasan dan edukasi tanpa ada niat untuk melecehkan siapapun atau membenarkan keyakinan golongan tertentu.
Terima Kasih..........................................................*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar