Baturraden ( Versi Syekh Maulanan Maghribi)
Konon di Negara Rum, bertahta seorang Pangeran bernama Syekh Maulana Maghribi berasal
dari Turki yang memeluk agama Islam dan dia adalah seorang ulama. Pada waktu
fajar menyingsing, setelah beliau melakukan kewajibannya selaku orang muslim,
terlihatlah oleh beliau cahaya terang misterius bersinar disebelah timur
menjulang tinggi di angkasa.
Terdorong oleh perasaan ingin mengetahui tempat
darimana cahaya terang misterius itu datang dan makna dari cahaya terang
tersebut, maka timbullah niat dan itikad yang kuat di dalam sanubarinya dan
mencari tempat yang dimaksud. Seorang sahabatnya bernama Haji Datuk dipanggil
dan diperintahkan supaya para hulubalang dan balatentaranya menyiapkan armada
dengan segala perlengkapannya untuk berlayar menuju kearah datangnya cahaya
misterius tersebut. Maka,berangkatlah si Pangeran bersama-sama dengan
sahabatnya itu 298 (dengan dua ratus sembilan puluh delapan) orang pengikutnya
mengarungi samudera menuju kearah terlihatnya cahaya itu memancar selama 40
malam.
Kemudian sampailah mereka di ujung timur sebuah
pulau yang bernama dengan Pulau Jawa. Adapun tempat dimana mereka membuang sauh
dewasa ini terkenal dengan nama Pantai Gresik. Meskipun mereka telah lama
menempuh perjalanan penuh dengan berbagai kesulitan dan penderitaan serta
menghadapi bermacam-macam marabahaya, mereka belum mencapai apa yang menjadi
cita-cita atau tujuannya karena cahaya terang misterius tersebut tampak
disebelah barat. Pada suatu waktu terlihat kembali cahaya terang yang sedang
dicarinya itu disebelah barat dan mereka mengambil keputusan kembali karah barat
dengan menempuh jalan di laut Jawa di pantai Pemalang Jawa Tangah, dimana
mereka berlabuh sambil sekedar melepas lelah. Ditempat
ini Syekh Maulana Maghribi meminta para armadanya untuk
pulang ke negerinya, sedangkan Syekh Maulana Maghribi ditemani
oleh Haji Datuk dan untuk sementara bermukim ditempat itu.
Karena mereka mempunyai kepercayan pada Yang Maha
Pencipta, mereka dijiwai oleh kekuatan Gaib yang tiada kunjung padam dan
berketetapan hati akan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki menuju kearah
Selatan sambil menyebarkan agama Islam. Dari Pemalang mereka menuju ke selatan
menyusuri hutan belantara tanpa mengenal bahaya yang dihadapinya karena
tertarik sinar cahaya misterius yang sekarang terlihat di Timur Laut. Berhubung
jalur yang ditempuhnya itu meletihkan, maka mereka berhenti sejenak untuk
melepaskan lelahnya sambil termenung merasakan kisah perjalanannya serta
kewajibannya yang dibebankan diatas pundaknya untuk menyebarluaskan agama
Islam. Tempat dimana mereka beristirahat dengan diliputi pikiran-pikiran
(gagasan-gagasan) dan perasaan-perasaan yang memenuhi hati sanubarinya diberi
nama ‘Paduraksa’ yang artinya bertengkar didalam kalbu atau rasa.
Dari tempat itu mereka meneruskan perjalanannya
ke selatan lagi dan sampailah mereka di hutan belukar dan untuk melepaskan
lelahnya mereka singgah diatas tonggak randu yang tumbang dan tempat tersebut
mereka beri nama ‘Randudongkal’. Dari tempat peristirahatannya itu, cahaya
terang masih kelihatan ada di timur laut, dan mereka meneruskan perjalanannya
menuju arah cahaya tadi. Dan sebelum mereka sampai ketempat yang menjadi
tujuannya mereka berhenti untuk beristirahat di dekat Sendang (kolam) untuk
melakukan ibadah Sholat, dan sesudahnya tempat tersebut diberi nama ‘Belik’.
Setelah melakukan Sholat, maka perjalanan diteruskan kearah timur dan sampailah
disuatu tempat, dimana terdapat banyak batu-batuan dan di tempat tersebut
mereka beristirahat lagi sambil memikirkan bagaimana cara mereka dapat
menjangkau tempat kedudukan cahaya yang dicarinya, karena cahaya terang
tersebut terlihat ada dipuncak Gunung. Tempat dimana mereka beristirahat dan
terdapat banyak batu-batuan itu diberi nama ‘Watu Kumpul’.
Karena tekadnya yang kuat, pendakian itu
dilakukan hingga akhirnya sampailah mereka di tempat yang dituju. Terlihat oleh
mereka seorang pertapa yang menyandarkan dirinya pada sebatang pohon jambu yang
mengeluarkan sinar yang bercahaya menjulang tinggi ke angkasa.
Perlahan-lahan Syekh Maulana Maghribi dan Haji Datuk menuju
mendekati tempat tersebut sambil mengucapkan salam ‘Assalamu’alaikum’, tetapi
tidak dijawabnya oleh si petapa meskipun berulangkali diucapkan. Setelah
ternyata salamnya tidak mendapat jawaban, maka Haji Datuk berkata
pada SyekhMaulana Maghribi : ‘Kiranya pertapa itu adalah seorang
Budha’. Mendengar perkataan tersebut, si petapa itu lalu menjawab :
‘Sesungguhnya saya ini adalah orang Budha yang Sakti’. Mendengar kata-kata
sakti maka SyekhMaulana Maghribi meminta kepada pemeluk agama
Budha tadi, bahwa beliau ingin melihat atau menyaksikan kesaktiannya,maka
diambillah tutup kepalanya yang berupa kopiah itu dapat terbang di
angkasa. Syekh MaulanaMaghribi tergolong orang yang mempunyai
kesaktian dan didorong oleh rasa ingin mengimbangi kemukjizatan si pertapa itu,
lalu melepaskan bajunya dan dilemparkan keatas, ternyata baju tersebut dapat
terbang di udara dan selalu menutupi kopiah si pertapa yang menandakan bahwa
kesaktiannya lebih unggul dari kesaktian orang Budha itu,tetapi ia belum mau
menyerah dan masih akan mempertontonkan lagi kepandaiannya yang berujud
menyusun telur setinggi langit. Melihat keadaan tersebut
diatas Syekh Maulana Maghribi merasa heran, namun demikian
ia tidak mau dikalahkan begitu saja, maka dengan tenangnya diperintahkan kepada
si pertapa agar ia mau mengambil telur itu satu persatu dari bawah tanpa ada
yang jatuh. Ternyata pertapa itu tidak sanggup melakukannya. Karena si pertapa
sudah benar-benar tidak melakukannya hal tersebut,
maka Syekh Maulana Maghribi mengambil tumpukan telur tadi
dimulai dari bawah sampai selesai dengan tidak ada satupun yang jatuh.
Syekh Maulana Maghribi masih
merasa belum puas dan masih meneruskan perjuangannya sekali lagi dengan
memperlihatkan pemupukan periuk-periuk berisi air sampai menjulng tinggi.
Lalu, Syekh Maulana Maghribi berkata : ‘Ambillah periuk-periuk
itu satu demi satu dari bawah tanpa ada yang berjatuhan’. Setelah ternyata
tidak ada kesanggupan daari si pertapa, maka beliau sendirilah yang
melakukannya dan periuk yang terakhir itu pecah dan airnya memancar kesegala
penjuru.
Akhirnya si pertapa yang mengaku bernama ‘Jambu
Karang’ (nama tersebut berasal dari pohon sandarannya, yaitu sebatang pohon
jambu dimana disekelilingnya terdapat batu-batuan) menyerah kalah serta
berjanji akan memeluk agama Islam. Janji tersebut diterima oleh Syekh Maulana Maghribi dan
Jambu Karang diperintahkan untuk memotong rambut dan kukunya dan selnjutnya
dikubur di ‘Penungkulan’ (tempat dimana si pertapa menyerah kalah). Kemudian
dilakukan upacara penyucian dengan air zam-zam yng dibawa oleh Haji Datuk dari
Tanah Suci atas perintah Syekh Maulana Maghribi dengan
mempergunakan tempat dari bambu (bumbung). Setelah upacara penyucian selesai,
bumbung berisikan sisa air disandarkan pada pohon waru, tetap karena kurang
cermat menyandarkannya maka robohlah bumbung tadi dan pecah sehingga air sisa
tersebut berhamburan dan di tempat tersebut konon kabarnya menjadi mata air yng
tidak mengenal kering dimusim kemarau.
Setelah pertapa disucikan menjadi pemeluk agama
Islam, maka namanya diubah menjadi ‘Syekh Jambu Karang’. KemudianSyekh
Jambu Karang akan mendapatkan wejangan (bai’at), beliau menunjukkan suatu
tempat yang serasi dan cocok untuk upacara bai’at tersebut yaitu diatas bukit
‘Kraton’. Sesaat setelah Syekh Jambu Karang menerima wejangan, turun
hujan lebat disertai dengan angin ribut yang mengakibatkan pohon-pohon
disekeliling tempat itu menundukkan dahan-dahannya seperti sedang menghormati
Gunung Kraton yaitu tempat dimana Syekh MaulanaMaghribi sedang
memberikan wejangan (membai’at) Syekh Jambu Karang menjadi seorang
Muslim. Menurut hikayatnya, Syekh Jambu Karang mempunyai seorang
putri bernama ‘Rubiah Bhakti’ yang dipersunting
oleh SyekhMaulana Maghribi, setelah Syekh Jambu Karang
menjadi seorang Muslim dengan mas kawin berupa mas merah setanah Jawa. Setelah
memperistrikan putri Syekh Jambu
Karang, Syekh Maulana Maghribi berganti nama menjadi ‘Atas
Angin’. Dari perkawinannya tersebut menurunkan lima orang putera dan puteri,
yaitu :
1. Makdum Kusen (Makam di Rajawana)
2. Makdum Medem (Makam di Cirebon)
3. Makdum Umar (Makam diKarimun Jawa)
4. Makdum (yang menghilang atau murca)
5. Makdum Sekar (Makam di Gunung Jembangan)
Adapun Syekh Jambu Karang tetap bermukim di Gunung Kraton, dan setelah wafat dimakamkan ditempat itu pula dan tempat pemakamannya disebut ‘Gunung Munggul’ (puncak yang tertinggi didaerah itu).
1. Makdum Kusen (Makam di Rajawana)
2. Makdum Medem (Makam di Cirebon)
3. Makdum Umar (Makam diKarimun Jawa)
4. Makdum (yang menghilang atau murca)
5. Makdum Sekar (Makam di Gunung Jembangan)
Adapun Syekh Jambu Karang tetap bermukim di Gunung Kraton, dan setelah wafat dimakamkan ditempat itu pula dan tempat pemakamannya disebut ‘Gunung Munggul’ (puncak yang tertinggi didaerah itu).
Syekh Maulana Maghribi yang
terkenal dengan ‘Mbah Atas Angin’ selama empat puluh lima tahun bermukim
disuatu tempat atau pedukuhan yang bernama ‘Banjar Cahayana’ (mungkin tempat
tersebut didiami setelah menemukan cahayanya). Di tempat tersebut Mbah Atas
Angin menderita penyakit gatal-gatal yang susah disembuhkan. Hal ini
menimbulkan keprihatinan disertai dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa
supaya diberi rahmat serta berkah terhindar dari penyakitnya itu.
Sesudah sholat Tahajud.dia mendapat Ilham bahwa
dia harus pergi ke Gunung ‘Gora’ dimana ia akan mendapatkan obat mujarab untuk
menyembuhkan penyakitnya itu. Kemudian pagi-pagi waktu Shubuh Mbah Atas Angin
bersama Haji Datuk pergi kearah barat dan pada siang hari sampailah mereka
dilereng Gunung Gora. Sesudah sampai di lereng Gunung Gora beliau meminta Haji
Datuk untuk meninggalkannya dan beristirahat sambil menunggu di tempat yang
datar, sebab Mbah Atas Angin akan meneruskan perjalanannya kearah suatu tempat
yang mengepulkan asap. Ternyata disitu ada sumber air panas
dan Syekh Maulana Maghribi menyebutnya ‘Pancuran Pitu’ yang
artinya sebuah sumber air panas yang mempunyai tujuh mata air. Setiap
hari Syekh Maulana Maghribi mandi secara teratur di tempat
itu, dengan begitu dia sembuh dari penyakit gatalnya. Sesudahnya beliau
memanjatkan do’a syukur kehadirat Illahi serta mengucap syukur bahwasanya ia
telah dikaruniai sembuh dari sakitnya yang telah sangat lama dideritanya.
Setelah ia kembali ketempat dimana Haji Datuk menunggu, ia berkata :
Saksikanlah, saya sekarang telah sembuh dari sakitku dan telah terhindar dari
penderitaan. Selanjutnya Dia mengganti nama Gunung Gora itu menjadi ‘Gunung
Slamet’. Slamet dalam bahasa Jawa berarti aman. Selama Syekh Maulana Maghribi berobat
di Pancuran Pitu, Haji Datuk tetap dan taat menunggu ditempat yang ditunjuk
semula dan kepadanya diberi julukan ‘Haji Datuk Rusuladi’. Rusuladi artinya
‘Batur Yang Baik’ (Adi). Dan konon kabarnya tempat tersebut oleh penduduk
sekitarnya hingga kini disebut dengan ‘BATURRADEN’.
* Mohon maaf bila terjadi kesalahan penulisan kata,nama dan tempat.Blog
ini hanya sekedar memberikan informasi,wawasan dan edukasi tanpa ada
niat untuk melecehkan siapapun atau membenarkan keyakinan golongan
tertentu.
Terima Kasih..........................................................*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar