Asal Mula Wong Banyumas
![]() |
Untuk
sharing kali ini selanjutnya Banyumas akan disebut Banyumasan, istilah ini
untuk menggambarkan tentang orang dengan karakteristik “Banyumasan” artinya
bukan hanya orang yang bermukim di wilayah Kabupaten Banyumas saja karena
Budaya Banyumasan itu meliputi daerah di luar Kabupaten Banyumas.
Berdasarkan
sejarah yang dihimpun dari sumber-sumber, terutama yang inyong ambil sebagai
sumber adalah dari wikipedia Basa Banyumasan yang membeberkan sejarah
Banyumasan yang dalam versi aslinya ditulis dalam bahasa Banyumasan dan
Wikipedia Bahasa Indonesia , kurang lebih ceritanya begini ….
Berdasarkan
sumber tersebut dikatakan bahwa nenek moyang orang Banyumasan berasal dari
daerah Kutai Kalimantan timur sebelum periode Kerajaan Kutai Hindu, alias masih
zaman pra Hindu.
Berdasarkan
catatan Van der Meulen Kemudian pendatang-pendatang tersebut masuk ke tanah
Jawa jauh sebelum abad ke 3 Masehi mendarat di Cirebon, kemudian masuk ke
pedalaman. Sebagian menetap di sekitar Gunung Cermai dan sebagian lagi
melanjutkan perjalanan dan menetap di sekitar Gunung Slamet dan Lembah Sungai
Serayu.
Pendatang
yang menetap di sekitar Gunung Cermai selanjutnya mengembangkan peradaban sunda
sedangkan pendatang yang menetap di sekitar Gunung Slamet kemudian mendirikan
Kerajaan Galuh Purba.
Kerajaan
Galuh Purba yang didirikan di Gunung Slamet ini disebut-sebut merupakan
kerajaan yang pertama di Jawa Tengah dan keturunannya bakal menjadi penguasa
dari kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa.
Kerajaan
Galuh Purba didirikan pada sekitar abad Ke-1 M di Gunung Slamet berkembang
sampai dengan abad ke-6 M dengan kerajaan-kerajaan kecil dengan nama Galuh didepannya.
Antara lain kerajaan :
- Kerajaan Galuh Rahyang lokasi di Brebes, ibukota di Medang Pangramesan
- Kerajaan Galuh Kalangon lokasi di Roban, ibukota di Medang Pangramesan
- Kerajaan Galuh Lalean lokasi di Cilacap, ibukota di Medang Kamulan
- Kerajaan Galuh Tanduran lokasi di Pananjung, ibukota di Bagolo
- Kerajaan Galuh Kumara lokasi di Tegal, ibukota di Medangkamulyan
- Kerajaan Galuh Pataka lokasi di Nanggalacah, ibukota di Pataka
- Kerajaan Galuh Nagara Tengah lokasi di Cineam,ibukota di Bojonglopang
- Kerajaan Galuh Imbanagara lokasi di Barunay (Pabuaran), ibukota di Imbanagara
- Kerajaan Galuh Kalingga lokasi di Bojong, ibukota di Karangkamulyan
Kerajaan
Galuh Purba mempunyai wilayah kekuasaan yang lumayan luas, mulai dari
Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap,
Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen ,Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Berdasarkan
prasasti Bogor, karena pamor kerajaan Galuh Purba menurun kalah pamor dynasti
Syilendra di Jawa Tengah yang mulai berkembang, kemudian ibukota kerajaan Galuh
Purba pindah ke Kawali (dekat garut) kemudian disebut Kerajaan Galuh Kawali.
Pada saat
itu di wilayah timur berkembang Kerajaan Kalingga yang konon merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Galuh Kalingga sebuah Kerajaan di wilayah Galuh Purba.
Sedangkan di
wilayah barat berkembang Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kelanjutan dari
kerajaan Salakanegara.
Pada masa
Purnawarman menjadi Raja Tarumanegara, kerajaan Galuh Kawali menjadi kerajaan
bawahan Tarumanegara. Pada saat Tarumanegara diperintah oleh Raja Candrawarman
kerajaan bawahan Tarumanegara mendapatkan kekuasaannya kembali termasuk Galuh
Kawali. Pada masa Tarumanegara Pemerintahan Raja Tarusbawa, Wretikandayun Raja
Galuh Kawali memisahkan diri (merdeka) dari Tarumanegara dan mendapat dukungan dari
Kerajaan Kalingga, kemudian menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat pemerintahan
Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh ini yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan
Pajajaran di Jawa Barat.
Meskipun
dalam perkembangannya Kerajaan Galuh Purba berkembang menjadi Kerajaan besar
yaitu Kalingga di Jawa Tengah dan Galuh di Jawa Barat, hubungan keturunan Galuh
Purba tetap terjalin dengan baik dan terjadi perkawinan antar Kerajaan sehingga
muncul Dinasti Sanjaya yang kemudian mempunyai keturunan raja-raja di Jawa.
Wilayah
Kerajaan Galuh Purba sebelum pindah ke Kawali mempunyai wilayah kekuasaan yang
lumayan luas, mulai dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu,
Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen ,Kedu, Kulonprogo dan
Purwodadi.
Berdasarkan
kajian bahasa yang dilakukan oleh E.M. Uhlenbeck, 1964, dalam bukunya : “A
Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura”, The Hague:
Martinus Nijhoff, bahasa yang digunakan oleh “keturunan Galuh Purba” masuk ke
dalam Rumpun Basa Jawa Bagian Kulon yang meliputi :Sub Dialek Banten Lor
Sub Dialek Cirebon/Indramayu, Sub Dialek Tegalan, Sub Dialek Banyumas,
Sub Dialek Bumiayu (peralihan Tegalan karo Banyumas), Kelompok dialek ini biasa disebut Bahasa Jawa Ngapak-ngapak atau Bahasa Banyumasan.
Sub Dialek Cirebon/Indramayu, Sub Dialek Tegalan, Sub Dialek Banyumas,
Sub Dialek Bumiayu (peralihan Tegalan karo Banyumas), Kelompok dialek ini biasa disebut Bahasa Jawa Ngapak-ngapak atau Bahasa Banyumasan.
Bila kita
lihat dari sejarah tersebut, diperoleh informasi bahwa perkembangan peradaban
Banyumasan sudah berkembang sedemikian jauh sebelum masa-masa Kerajaan
Majapahit. Artinya peradaban budaya dan bahasa Banyumasan sudah sangat tua jauh
sebelum Kerajaan Mataram Islam yang kemudian terpecah menjadi Surakarta dan
Yogyakarta.
Istilah
Banyumas sendiri itu muncul jauh setelah Kerajaan Galuh Purba yaitu pada saat
R. Jaka Kaiman membangun Pusat Kadipaten di Hutan Mangli Kejawar tepatnya pada
masa akhir Kerajaan Pajang sebelum muncul Kerajaan Mataram Islam. Silahkan baca Pohon
Tembaga dan Awal Mula Banyumas.
Pada zaman
Kesultanan Demak (1478 – 1546), wilayah Banyumasan terdiri dari beberapa
Kadipaten, diantaranya Kadipaten Pasirluhur dengan Adipatinya Banyak Belanak,
juga Kadipaten Wirasaba dengan Adipatinya Wargo Utomo I. Luasnya kekuasaan
Kesultanan Demak membuat Sultan Trenggono (Sultan Demak ke III) merasa perlu
memiliki angkatan perang yang kuat, untuk itu wilayah-wilayah Kesultanan Demak
pun dibagi-bagi secara militer menjadi beberapa daerah komando militer. Untuk
wilayah Barat, Sultan Trenggono mengangkat Adipati Banyak Belanak sebagai
Panglima Komando Wilayah Pertahanan Barat dengan cakupan wilayah meliputi
Kerawang sampai gunung Sumbing (Wonosobo). Sebagai salah seorang Panglima
Perang Kesultanan Demak, Adipati Pasirluhur dianugrahi gelar Pangeran Senopati
Mangkubumi I sedangkan adiknya yang bernama Wirakencana diangkat menjadi Patih.
Setelah
Sultan Trenggono wafat, Kesultanan Demak terpecah menjadi 3 bagian, salah
satunya adalah Pajang yang diperintah oleh Joko Tingkir dan bergelar Sultan
Adiwijaya (1546 – 1587). Pada masa ini, sebagian besar wilayah Banyumasan
termasuk dalam kekuasaan Pajang.
Mengikuti
kebijakan pendahulunya, Sultan Adiwijaya juga mengangkat Adipati Pasirluhur
yang saat itu dijabat Wirakencana, menjadi Senopati Pajang dengan gelar Pangeran
Mangkubumi II. Sementara itu Adipati Kadipaten Wirasaba, Wargo Utomo I wafat
dan salah seorang putranya ( putra menantu ) bernama R. Joko Kaiman diangkat
oleh Sultan Adiwijaya menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Wargo Utomo II,
beliau menjadi Adipati Wirasaba ke VII.
Menjelang
berakhirnya kejayaan kerajaan Pajang dan mulai berdirinya kerajaan Mataram
(1587), Adipati Wargo Utomo II menyerahkan kekuasaan Kadipaten Wirasaba ke
saudara-saudaranya, sementara beliau sendiri memilih membentuk Kadipaten baru dengan
nama Kadipaten Banyumas dan beliau menjadi Adipati pertama dengan gelar Adipati
Marapat.
Selanjutnya,
Kadipaten Banyumas inilah yang berkembang pesat, telebih setelah pusat
Kadipatennya dipindahkan ke Sudagaran – Banyumas, pengaruh kekuasaannya menyebabkan
Kadipaten-Kadipaten lainnya semakin mengecil. Seiring dengan berkembangnya
Kerajaan Mataram, Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan pun tunduk pada
kekuasaan Mataram.
Kekuasaan
Mataram atas Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tidak secara otomatis
memasukkan wilayah Banyumasan ke dalam “lingkar dalam” kekuasaan Mataram
sehingga Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tersebut masih memiliki
otonomi dan penduduk Mataram pun menyebut wilayah Banyumasan sebagai wilayah
Mancanegara Kulon.
Sebelum
Belanda masuk, wilayah Banyumasan disebut sebagai daerah Mancanegara Kulon
dengan rentang wilayah meliputi antara Bagelen (Purworejo) sampai Majenang
(Cilacap). Disebut Mancanegara Kulon karena pusat pemerintahan waktu itu memang
berada di wilayah Surakarta atau wilayah wetan.
Terhitung
sejak tanggal 22 Juni 1830, daerah Mancanegara Kulon ini secara politis masuk
di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda, itulah awal penjajahan Belanda,
sekaligus akhir dari pendudukan kerajaan Mataram atas bumi Banyumasan.
Selanjutnya para Adipati di wilayah Banyumasan pun tidak lagi tunduk pada Raja
Mataram, mereka selanjutnya dipilih dan diangkat oleh Gubernur Jenderal dan
dipilih dari kalangan penduduk pribumi, umumnya putera atau kerabat dekat
Adipati terakhir.
Pemerintahan
di wilayah Banyumasan diatur berdasarkan Konstitusi Nederland yang pada pasal
62 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintahan umum di Hindia Belanda (Indonesia)
dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal
adalah kepala eksekutif yang berhak mengangkat serta memberhentikan para
pejabat di Hindia Belanda, termasuk para Adipatinya. Saat itu yang menjadi
Gubernur Jenderal adalah Johannes Graaf van den Bosch (16 Januari 1830 – 2 Juli
1833).
Upaya untuk
mengontrol para Adipati ini sebenarnya agar Belanda mudah melakukan mobilisasi
rakyat untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda yang lebih
dikenal dengan tanam paksa. Persiapan pembentukan pemerintahan kolonial Belanda
di wilayah Banyumasan dilakukan oleh Residen Pekalongan bernama Hallewijn.
Hallewijn tiba di wilayah Banyumasan pada 13 Juni 1830 dengan tugas utama
mempersiapkan penyelenggaraan pemerintahan sipil di wilayah Banyumasan. Dia
dibantu antara lain oleh Vitalis sebagai administrator juga Kapiten Tak sebagai
komandan pasukan.
Tanggal 20
September 1830, Hallewijn memberikan laporan umum hasil kerjanya kepada
Komisaris Kerajaan yaitu Jenderal De Kock di Sokaraja, diantara isi laporan
tersebut adalah tentang cakupan wilayah Banyumasan yang meliputi (dari timur) :
Kebumen, Banjar (Banjarnegara), Panjer, Ayah, Prabalingga (Purbalingga),
Banyumas, Kroya, Adireja, Patikraja, Purwakerta (Purwokerto), Ajibarang,
Karangpucung, Sidareja, Majenang sampai ke Daiyoe-loehoer (Dayeuhluhur),
termasuk juga di dalamnya tanah-tanah Perdikan (daerah Istimewa) seperti Donan
dan Kapungloo. Pada pertemuan di Sokaraja itulah akhirnya diresmikan berdirinya
Karesidenan Banyumas yang meliputi sebagian besar wilayah mancanegara kulon,
selanjutnya tanggal 1 November 1830 de Sturler dilantik sebagai Residen
Banyumas pertama.
Pada tanggal
18 Desember 1830 melalui Beslit Gubernur Jenderal J.G. van den Bosch,
Karesidenan Banyumas diperluas dengan dimasukkannya Distrik Karangkobar
(Banjarnegara), pulau Nusakambangan, Madura (sebelumnya termasuk wilayah
Cirebon) dan Karangsari (sebelumnya termasuk wilayah Tegal).
Untuk
mengefektifkan jalannya pemerintahan, pemerintah kolonial Belanda pada tanggal
22 Agustus 1831 membentuk 4 Regentschap (Kabupaten) di wilayah Karesidenan
Banyumas yaitu, Kabupaten Banyumas, Ajibarang, Daiyoe-loehoer dan Prabalingga
yang masing-masing dipimpin oleh seorang Bupati pribumi. Selain itu Residen de
Sturler juga melakukan perubahan ejaan nama dan pembentukan struktur Afdeling
yang berfungsi sebagai Asisten Residen di masing-masing Kabupaten.
Di antara
yang mengalami perubahan nama adalah Prabalingga menjadi Poerbalingga,
Daiyoe-Loehoer menjadi Dayoehloehoer dan Banjar menjadi Banjarnegara,
selanjutnya wilayah Banjarnegara diperluas dengan memasukkan Distrik
Karangkobar, statusnyapun ditingkatkan menjadi sebuah Kabupaten.
Pembentukan
Afdeling meliputi, Kabupaten Dayoehloehoer dan Kabupaten Ajibarang menjadi satu
Afdeling yaitu Afdeling Ajibarang dengan ibukota Ajibarang dan D.A. Varkevisser
diangkat sebagai Asisten Residen di Ajibarang sekaligus sebagai ”pendamping”
Bupati Ajibarang Mertadiredja II dan Bupati Dayoehloehoer R. Tmg.
Prawiranegara. Tiga Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan
Banjarnegara masing-masing memiliki Afdeling sendiri-sendiri.
Wilayah
Banyumasan merupakan sebuah wilayah yang meliputi 8 Kabupaten yaitu : Kabupaten
Kebumen, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten
Pemalang, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas.
Budaya
Banyumasan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di
Jawa Tengah, walaupun akarnya masih merupakan budaya Jawa. Hal ini sangat
terkait dengan karakter masyarakatnya yang sangat egaliter tanpa mengenal
istilah ningrat atau priyayi. Hal ini juga tercermin dari bahasanya yaitu
bahasa Banyumasan yang pada dasarnya tidak mengenal tingkatan status sosial.
Penggunaan bahasa halus (kromo) pada dasarnya merupakan serapan akibat
interaksi intensif dengan masyarakat Jawa lainnya (wetanan) dan ini merupakan
kemampuan masyarakat Banyumasan dalam mengapresiasi budaya luar. Penghormatan
kepada orang yang lebih tua umumnya ditampilkan dalam bentuk sikap hormat,
sayang serta sopan santun dalam bertingkah laku. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pengaruh feodalisme memang terasa tetapi itu bukan merupakan karakter asli
masyarakat Banyumasan. Selain egaliter, masyarakat Banyumasan dikenal memiliki
kepribadian yang jujur serta berterus terang atau biasa disebut Cablaka /
Blakasuta.
Demikian
Saudara sedikit cerita tentang asal mula Wong Banyumasan cukup menarik bukan,
dengan cerita di atas mudah-mudahan dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.
Yang menjadi pertanyaan inyong yang cukup menggelitik adalah tentang sedikitnya
informasi yang bisa kita dapatkan untuk mencari jejak sejarah Banyumasan
terutama terkait Kerajaan Galuh Purba, ini tentunya merupakan tantangan bagi
Sejarawan Banyumasan untuk menggali lebih dalam jati diri bangsa Banyumasan.
Sebagai
penutup tulisan, karena inyong bukan ahli sejarah dan hanya “menggatuk-gatukan”
dari sumber yang ada sekitanya ada yang salah mohon untuk diluruskan..
ehhh..mbok kayakuwe…Klilaan.. (diolah dari beberapa sumber, sumber utama
Wikipedia Bahasa Indonesia dan Basa Banyumasan)
* Mohon maaf bila terjadi kesalahan penulisan kata,nama dan tempat.Blog ini hanya sekedar memberikan informasi,wawasan dan edukasi tanpa ada niat untuk melecehkan siapapun atau membenarkan keyakinan golongan tertentu.
Terima Kasih..........................................................*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar